Minggu, 18 Maret 2012

Supersemar Kesaksian Tiga Jendral

  Bagi sebagian kalangan polemik keberadaan sakah asli Supersemar mungkin tidak penting, karena ditemukan ata tidak hal ini tidak akan secara langsung mepengaruhi kehidupan mereka. Namun bagi kalangan tertentu hal ini sangat penting. Terungkapnya kebenaran akan Supersemar tentu saja akan mampu meluruskan sejarah bangsa Indonesia yang telah 45 tahun berjalan pasca peristiwa Pemberontakan G 30 S / PKI. Dan yang lebih penting adalah kebenaran hakiki tentang Supersemar; sekedar instruksi presiden saja atau sebuah transfer authority dari tangan presiden Soekarno pada Letjen Soeharto.
 Disadari atau tidak kebingungan masyarakat akan keberadaan naskah asli Supersemar sah-sah saja. Apalgi hingga saat ini beredar 3 versi Supersemar di masyarakat, yaitu:

  1. Versi A tercantum dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 3 halaman 77, dalam versi ini ketikan naskah lebih rapi dan tanda tangan presiden Soekarno tidak ada garis kecil di belakangnya, padahal hal itu merupakan ciri khas tanda tangan presiden Soekarno.
  2. Versi B juga tercantum dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka jilid 3 halaman 90. Dalam versi ini ketikan naskah tampak tidak rapi, namun tanda tangan presiden Soekarno sesuai aslinya.
  3. Versi ketiga adalah yang disampaikan oleh Jendral M. Yusuf (penerima naskah Supersemar) menurutnya naskah Supersemar terdiri dari 2 lembar.
Keberadaan 3 versi naskah ini mendatangakan serangkaian pertanyaan, mengapa terjadi seperti itu dan apa alasan harus ada naskah yang dipalsukan. Apalagi pihak-pihak yang pro Soeharto sebagian besar enggan menanggapinya, bahkan Soedharmono (mantan wapres) mengatakan bahwa peringkasan naskah Supersemar bertujuan untuk efisiensi (berarti tanda tangan presiden Soekarno tidak asli).

Polemik seputar naskah Supersemar jika ditelusuri secara lebih mendalam justru bukan pada berapa lembar jumlah naskahnya, namun adakah bagian-bagian yang sengaja dihilangkan untuk kepentingan tertentu. Namun yang jelas dengan Supersemmar ini Letjen Soeharto mampu mengambil hati rakyat melalui serangkaian langkah politiknya antara lain:
  1. pembubaran PKI dan ormas-ormasnya
  2. penangkapan 15 menteri Kabinet Dwikora yang terindikasi terlibat dengan PKI, temasuk di dalamnya Soebandrio (Waperdam 1) an Chairul Saleh (Waperdam III sekaligus ketua MPRS)
Dari kaca mata berbeda, langkah Letjen Soeharto dinilai sebagai langkah yang kebablasen artinya diluar batas kewenangannya. Karena secara jelas langkah ini menggerogoti kebijakan presiden Soekarno sekaligus mendemisonerkan kabinet Dwikora. Namun mau apa lagi jika rakyat dan mahasiswa menyambut dengan gembira langkah tersebut. Di sisi lain, posisi presiden Soekarno semakin terpojok di mata mahasiswa dan rakyat. Sehingga secara tidak langsung sebagian kalangan menganggap Supersemar sebagai proses transfer authority (pemindahan wewenang eksekutif terbatas), atau dengan kata lain bentuk kudeta secara halus.

Dalam salah satu biografinya Soeharto pernah menyinggung tentang Supersemar secara sedikit terperinci. Dalam penjelasannya terdapat 2 pasal dalam Supersemar yang juga harus dilakukan yaitu:
  1. harus mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan panglima-panglima angkatan lain dengan sebaik-baiknya
  2. melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan tugas dan tanggung jawab itu
Namun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Letjen Soeharto justru bertentangan dengan itu, antara lain:
  1. tidak berkoordinasi dengan panglima-panglima angkatan lain dalam membuat surat keputusan pembubaran PKI
  2. tidak melaporkan pada presiden Soekarno mengenai langkah-langkah politik yang diambilnya
  3. menahan dan menjebloskan semua pejabat negara yang loyal pada presiden Soekarno ke dalam penjara
Jika hal ini yang terjadi maka bukan hal yang salah jika sebagian kalangan menilai Letjen Soeharto menyalahgunakan Supersemar untuk kepentingan politiknya. Dan rasa penasaran tentang naskah asli Supersemarpunh makin berkembang luas. Tanda tanya besarpun muncul dengan adanya satu informasi yang mengatakan pada halaman dua terdapat sebuah kalimat yang berbunyi "setelah keadaan terkendali Supersemar kembali kepada presiden Soekarno." Hal ini pernah ditanyakan pada Soebandrio, dan Soebandrio mengiyakan kandungan kalimat tersebut.

Dari serangkaian fakta tersebut maka muncul anggapan bahwa Letjen Soeharto dan kawan-kawannya adalah dalang di belakang keluarnya Supersemar. Tuduhan ini didasarkan pada beberap langkah Letjen Soeharto pada saat itu, yaitu:
  1. langkah pembubaran PKI
  2. membersihkan kabinet dari unsur-unsur Soekarno
  3. meningkatkan status Supersemar sebagai Ketetapan MPRS sehingga mempunyai kekuatan hukum yang kuat
  4. menempatkan Jendral AH Nasution sebagai Ketua MPRS menggusur kedudukan Wilujo Puspojudo yang merupakan pendukung setia presiden Soekarno
Fakta-fakta inilah yang terungkap dalam buku termasuk didalamnya wawancara dari tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam peristiwa keluarnya Supersemar baik secara aktif atau hanya sebagai saksi mata. Sehingga kebenaran akan Supersemar hanya dapat terungkap jika telah muncul kesadaran dari pihak-pihak tertentu untuk meluruskan sejarah bangsa ini. Kita tunggu saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar